Bismillah
Menghafal al-Qur’an merupakan sebuah ibadah yang banyak mengandung fadhilah fadhilah keutamaan, hal itu terbukti dalam beberapa redaksi ayat al-Qur’an itu sendiri maupun dalam beberapa riwayat riwayat yang dinisbakan kepada Rasulullah Saw dan juga pada generasi setelah nya, diantara nya adalah orang yang membaca dan mengamalkan nya tergolong kedalam manusia manusia yang dimuliakan oleh Allah swt. Imam jazari dalam kitab nya tayyibatu an-Nasyr (lihat: mandzumah bait no 4) mengatakan bahwa orang orang yang istiqamah dalam mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an digolongkan kedalam asyrafa al-Ummah ـــHemat penulis bahwa ummat Rasulullah Saw dijadikan sebagai ummat yang terbaik (khaera al-ummah) karena kepada nya lah al-Qur’an diturunkan, namun orang yang istiqamah mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an digolongkan kepada ummat yang termulia (Asyrafa al-Ummah) ـــ hal ini berladaskan hadist nabi “sebaik baik ummat diantara kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengamalkan nya” (lihat: Shahih Bukhari No. Hadist 5027) dan kelak diakhirat nanti orang orang tersebut diberikan wewenang untuk memberikan syafaat (lihat: Shahih Muslim No. Hadist 804). Maka dari itu tak sedikit dari ummat islam baik sejak zaman al-Qur’an diwahyukan pertama kali hingga hari ini berlomba lomba dalam menghafalkan nya, tentunya dengan euforia yang sangat besar itulah sehingga keotentikan al-Qur’an terjaga dikepala para huffadz -atas izin Allah. Rujuklah tulisan penulis pada beberapa artikel yang lalu mengenai semangat para ahluqurra dalam menjaga dan meriwayatkan al-Qur’an.
Beberapa abad telah berlalu, terbentang jarak yang begitu jauh dari zaman kita kepada Rasulullah Saw, al-Qur’an tetaplah seperti itu tak ada lagi perubahan subtansi ataupun wahyu sepeninggal Rasulullah Saw, yang banyak berubah dan berkembang adalah ilmu pemahaman terhadap nya sehingga banyak melahirkan kaidah kaidah baru, berbagai corak penafsiran dan juga berbagai ragam perbedaan pendapat. Namun terlepas dari hal itu, untuk bisa sampai kepada tahap pemahaman terhadap al-Qur’an tidak lah mudah, dibutuhkan beberapa jenjang proses untuk bisa memahami kalam Allah ini. Dalam metodologi pembelajaran al-Qur’an menghafal merupakan tahapan kedua setelah pandai dalam membaca, karena dalam tahap pertama seseorang akan sangat dituntut untuk sesering mungkin membaca al-Qur’an -entah paham terhadap bacaan nya ataupun tidak, hal itu ditujukan untuk melatih lidah non arab yang cenderung kaku dalam pelafadzan nya juga untuk menanamkan kebiasaan dalam membaca karena dari kebiasaan inilah akan muncul rasa cinta terhadap al-Qur’an, sebagaimana Rasulullah Saw sendiri dalam mengajarkan al-Qur’an baik secara lafadz bacaan qiraah ataupun maknanya dengan membacakan dan menghafallkan nya terlebih dahulu dihadapan para sahabat lalu kemudian mereka mengikutinya dan juga menghafalkan nya, setelah itu barulah beliau menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Hal ini lebih dikenal dengan istilah Talaqqi dalam bentuk halaqah yang diadakan diberbagai tempat. Dari sini juga lahirlah beberapa metodologi dalam belajar membaca al-Qur’an seperti bil at-Tahqiq, bil al-Hadar, dan juga bil at-Tadwir. (Baca: Implementasi teori imam qiraat dalam membaca al-Qur’an.)
Nah setelah hafalan nya dinilai kuat barulah kemudian masuk ketahap selajutnya yaitu pemahaman terhadap bacaan nya. Untuk bisa paham kandungan isi al-Qur’an tentunya sangat dibutuhkan ilmu -alat- untuk digunakan dalam memahami konteks ayat nya, seperti pemahaman bahasa arab yang kuat, karena al-Qur’an menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar wahyu Allah, dan begitu juga dengan ilmu-ilmu al-Qur’an yang lain seperti asbabu an-Nuzul, Nasikh mansukh, siyaq, munasabah, makki madani dan masih banyak lagi. Dari sini barulah kita bisa memahami konteks dan subtansi isi kandungan ayat al-Qur’an. Dengan demikian bacaan seseorang akan sampai kepada derajat membaca dengan tartil, karena bacaan dengan tartil telah mencangkup juga didalam nya memahami dan mentadabburi ayat. Dengan tahapan tahapan seperti ini juga akan lahir para ahli al-Qur’an yang menguasai betul seluk beluk tentang Qur’an.
Dari sini timbul pertanyaan apakah seseorang bisa langsung mehamahi al-Qur’an dari hasil pemikiran para ahli Qur’an saja tanpa mengafal al-Qur’an lagi? Ya, tentu. Inilah yang perlu dilakukan orang yang awam terhadap al-Qur’an jika belum memiliki kesempatan untuk mengikuti tahapan tahapan diatas, maka dari itu muncullah istilah kajian al-Qur’an, yang mengisi kajian adalah orang yang ahli al-Qur’an dan para peserta kajian disebutlah para pengkaji al-Qur’an. Dari sini jelaslah perbedaan antara orang yang mengkaji dan orang yang betul betul ahli dibidang al-Qur’an.
Jika kita menilik sejarah beberapa tahun yang lalu lembaga tahfidz sangat lah sedikit jumlah nya bahkan asing dibeberapa kalangan, akan tetapi perkembangan lembaga tahfidz hari ini kian subur ditengah tengah masyarakat kita, dan tidak menutup kemungkinan 5 sampai 10 tahun kedepan akan lahir para ahli al-Qur’an yang memiliki kapebelitas dan kredibelitas dibidang nya. Karena apa yang dikeluhkan beberapa kalangan dengan marak nya lembaga lembaga tahfidz saat ini -yang kebanyakan hanya berfokus pada hafalan saja- hanyalah bagian dari proses tersebut.
Hemat penulis, penghafal al-Qur’an ataupun pengkaji ilmu-ilmu al-Qur’an tidak lah bisa dikatakan sebagai ahli Qur’an jika yang menghafal tidak menyempurnakan hafalan nya dengan melajutkan kepada kajian terhadap hafalan nya, pun para pengkaji al-Qur’an tidak lah sempurna keilmuan nya jika tidak menghafal kan al-Qur’an. Dan kesemuanya itu tentulah membutuhkan proses yang sangat panjang.
.
Allahu
A’lam
Kairo,
15 Juni 2020
.
.
Referensi:
- Imam Jaluluddin as-Suyuthi, Al-itqan fi ‘ulumi al-Quran, Cairo: Dar al-Hadist, 2006.
- Ibnu al-Jazary, an-Nasyr al-Qiraat al-‘Asyarah, beirut: Dar al-Ghautsani li ad-Dirasati al-Quraniyyah, 2018.
- Ibnu al-Jazary, mandzumah thayyibatuan-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyar, Madinah: Maktabah al-Maurid, cetakan kelima, tanpa tahun.
Komentar
Posting Komentar