Langsung ke konten utama

Kritik Gramatika teks bacaan al-Qur'an



Bismillah…

Al-Qur’an sejak awal diwahyukan nya kepada Rasulullah Saw telah kita yakini ke absolut an nya dari segala sisi, baik Bahasa, sastra, hukum, aqidah dll. Namun ke absolut an tersebut tidak dianggap benar bagi sebagian kalangan, lihat saja beberapa kalangan yang melihat dari segi Bahasa dan lahjah nya nampak menaruh keraguan terhadap-Nya, Jika enggan berkata orang-orang yang demikian tidaklah memiliki keilmuan dan wawasan yang mendalam, karena keilmuan yang mendalam dan wawasan yang luas pada diri seseorang akan melahirkan sikap yang bijak dan kritis.

 Beranjak dari sana jauh sebelum muncul nya para kritikus dari kalangan orientalis, para ulama terdahulu juga sudah melakukan berbagai ragam penilitian terhadap uslub dan gramatika al-Qur’an untuk meneliti lebih lanjut hal tersebut. Dari segi gramatika Bahasa arab sendiri terdapat dua madzhab besar dalam ilmu gramatika arab (nahwu) yaitu madzhab basrah dan kufah, dari madzhab kufah sendiri cukup masyhur nama imam ali al-kisai sebagai pembesar nya, bahkan madzhab kufah yang awalnya tidak begitu dianggap (mu'tamad) untuk dijadikan sebagai sandaran dalam nahwu sejak kemunculan imam ali al-Kisai madzhab kufah pun menjadi masyhur dan dan dapat dijadikan sebagai sandaran dalam ilmu nahwu. Maka dari itu tak heran jika sastrawan terkenal sekelas duktur Syauiqi dhaif mengatakan bahwa orang yang pertama kali melakukan kritik terhadap qiraah bacaan al-Qur’an adalah imam ali al-kisai, senada dengan hal tersebut imam ibnu al-Farra’ dalam beberapa Riwayat juga banyak mengkritik para imam-imam qiraat dengan bacaan-bacaan nya. Namun beda hal nya dengan imam sibawaih dari madzhab basrah yang justru tidak ditemukan adanya Riwayat yang mengatakan bahwa beliau mengkritik bacaan qiraah al-Qur’an. 

Perlu kita ketahui bersama bahwa kritik yang dilontarkan oleh para ulama lughah dan para ahli qiraah tentu berbeda dengan kritik yang dilontarkan oleh para orientalis, kritik para orientalis bertujuan untuk menghina, menjatuhkan dan mencari-cari celah untuk merusak islam dari dalam dengan memunculkan berbagai macam kritik negative yang pada hakikat nya mereka sedang menampakkan wajah kebodohan nya, beda hal kritik yang dilontarkan para ulama seperti imam ali al-Kisai, ibnu al-Farra’ dan lain nya mereka mengkritik dengan tujuan penilitian dan peninjauan yang pada akhirnya melahirkan wawasan-wawasan baru dalam ilmu gramatika bahasa arab karena kemunculan qiraah al-Qur’an itu sendiri sudah jauh lebih dulu dibanding ilmu gramatika Bahasa arab itu sendiri, sehingga jika ditemukan adanya hal-hal yang menyelisihi kaidah ilmu nahwu dalam qiraah al-Qur’an maka tentu akan melahirkan kaidah-kaidah baru dalam ilmu nahwu.

Dari sini kemudian timbul pertanyaan dibenak penulis, hal apa yang mendasari mereka para ulama lughah melontarkan kritik terhadap qiraah bacaan al-Qur’an? Jawaban dari pertnyaan tersebut penulis temukan dari kitab an-Naqdu an-nahwi li al-Qiraat al-Arba’ata al-‘Asyarah disana penulis menemukan bahwa tiga kaidah yang ditetapkan oleh khalifah Utsman bin Affan (pertama kesesuaian dengan wajah nahwu, kedua kesesuaian dengan kaidah penulisan yang telah dinukilkan sejak zaman Rasulullah, dan ketiga derajat isnad yang shahih), pada syarat yang pertama terdapat perbedaan pandangan dari kalangan para ulama qiraah dan ulama nahwu, para ulama ahli qiraah tidak mensyaratkan syarat yang pertama baik dari segi qiyas lughawi ataupun dari segi kefasihan nya, maka dari itu cukup banyak kita temukan ulama-ulama lughah yang juga ahli dibidang qiraah mereka tidak terlalu begitu bersandar pada syarat pertama ini dari segi kaidah lughawi (secara dirayah), akan tetapi mereka lebih condong kepada apa yang telah dinuqilkan kepada mereka secara riwayat (riwayah) dan mereka lebih mensyaratkan syarat yang ketiga (derajat isnad yang shahih) dari yang pertama (kesesuaian dengan wajah nahwu), maka dari itu tak heran jika ada diantara mereka yang membolehkan membaca qiraah yg syadz dalam shalat dengan syarat terpenuhinya syarat yang ketiga yaitu isnad yang mutawatir. Maka dari itu pula mereka cenderung melontarkan kritik terhadap syarat yang ketiga itu jika ditemukan adanya perbedaan dalam periwayatan.  

Lain hal nya dengan para ulama lughah, mereka lebih bersandar kepada syarat yang pertama baik dari segi qiyas lughawi nya ataupun kefashihan nya, dan jika ditemukan adanya perbedaan maka akan dita’wil makna nya sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang telah ditetapkan, hal itu dikarenakan al-Qur’an tidak mungkin dapat dipahami dengan baik jika menyalahi kaidah-kaidah kefashihan para fushaha’ al-Arab. Maka dari itu mereka cenderung melontarkan kritik terhadap syarat yang pertama jika menemukan hal-hal yang berbeda dari segi lughah nya. 

Kesimpulan yang bisa kita petik adalah bahwa disini terdapat dua permasalahan yang kemudian bisa menjadi titik terang.

Pertama kelompok yang tidak memisahkan antara qiraah dan al-Qur’an itu sendiri sebagaimana yang dilontarkan oleh imam ibn al-Jazari, mereka berpandangan bahwa qiraah yang dibacakan dan diriwayatkan (secara mutawatir) oleh para aimmah qiraah adalah termasuk ragam bacaan al-Qur’an dalam artian qiraah adalah al-Qur’an itu sendiri.

Kedua kelompok yang memisahkan antara qiraah dan al-Qur’an sebagaimana yang dilontarkan oleh imam Abu Amr ad-Dani, mereka memisahkan berdasarkan tiga syarat yang ditetapkan oleh khalifah Ustman bin affan. Jika tiga syarat tersebut terpenuhi maka dapat disebut sebagai al-Qur’an karena sifat kequr’anan nya bergantung pada tiga syarat tersebut, namun jika menyelisihi kaidah tersebut maka tidak dapat dikatakan sebagai al-Qur’an, melainkan hanya sebagai kalam/qiraah yang memiliki tema bahasan, kalam maudu’

Wallahu ‘Alam

Mohammed Mi’raj

Darrasah, 6 Feb 2022 

Referensi: Abdul Razzaq Ali Husain Muhammad, an-Naqdu an-Nahwi li al-Qiraaat al-Arba'a al-Asyarah, Oman: dar an-Nuur al-Mubin, cet: pertama, 2020.    



Komentar

Postingan populer dari blog ini

apa itu qiraah asyarah sugra dan kubra?

Bismillah...      Pada masa kekhalifaan Usman bin Affan periwayatan al-Qur’an dengan berbagai ragam bacaan nya telah menemukan titik terang nya pasca ditetapkan nya tiga kaidah baku yang telah ditetapkan oleh khalifah dan para tim penulis wahyu, terlebih saat beliau kembali memerintahkan para ulama delegasi beliau diutus kembali ke amsar,  baca: tujuh kota pusat perkembangan islam.   Ditangan para delegasi inilah kemudian lahirlah para imam qiraat sepuluh yang sampai pada kita hari ini, dimana dari kesepuluh imam tersebut terdapat dua murid yang masyhur dikalangan para ahlulqurra pada masa itu yang kemudian meriwayatkan dan kemudian memberikan kaidah bacaan yang mereka dapatkan dari gurunya, diantara mereka ada yang berguru secara langsung dan juga diantara mereka ada yang berguru melalui perantara, inilah yang disebut dengan periwayatan   bil washitah.  Penetapan para perawi ini berdasarkan kredibilitas dan juga kemasyhuran para perawi nya, sehigga jika dijumlahkan secara keseluruhan

Pembagian al-Qur'an menjadi beberapa Juz, Hizb, & Ruku'

Bismillah… Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Saw. Dengan berbagai kemukjizatan yang tersaji didalam nya baik dari segi uslub, bahasa, hingga  sastra, tak membuat para ulama cendikiawan berhenti dalam penelitian nya mengkaji al-Qur’an. Hingga pada tulisan kali ini kita akan sedikit membahas mengenai pembagian al-Qur’an menjadi beberapa bagian seperti pembagian yang kita kenal dengan istilah Juz, Hizb, ataupun Rubu’, dan Ruku’. Pada masa Rasulullah sendiri, pembagian-pembagian yang telah kita sebutkan belum ada pada masa itu, sehingga dalam beberapa Riwayat seperti pada Riwayat Aus ibn Hudzaifah dikatakan bahwa para sahabat membagi al-Qur’an menjadi tujuh bagian. Bagian yang  pertama  terbagi menjadi tiga surah, yaitu al-Baqarah, ali Imran, dan an-Nisa. Bagian  kedua  terbagi menjadi lima surah, yaitu al-Maidah, al-An’am, al-‘Araf, al-Anfal, dan at-Taubah. Bagian  ketiga  terbagi menjadi lima surah, yaitu Yunus, Hud, Yusuf, ar-Ra’d, Ibrahim, al

RASM USTMANI BAGIAN 2

  Bismillah… Telah kita ketahui bersama bahwa al-Qur’an memiliki sejarah yang sangat Panjang baik dari segi bacaan  (qiraat)  nya, Penulisan  (rasm)  nya, dan juga pemahaman  (tafsir)  nya  yang berkembang dari masa kemasa tidak membuat kitab suci al-Qur’an diragukan lagi dari segi keotentikan nya berkat penjagaan yang dijaga langsung oleh Allah Swt, sebagai mana didalam al-Qur’an sendiri dikatakan hal yang demikian,  baca: QS. Al-Hijr 9 . Penjagaan ini merupakan bagian dari kemukjizatan al-Qur’an itu sendiri. Pada tulisan yang lalu penulis telah memaparkan sejarah penulisan dan dabt al-Qur’an secara ringkas dalam beberapa fase, pada tulisan kali ini penulis akan menguraikan secara rinci mengenai sejarah penulisan al-Qur’an tersebut. literasi masyarakat arab Cukup masyhur kita ketahui bersama bahwa bangsa arab terdahu tidaklah mengetahui tulis menulis,  baca: Ummi.   Hal ini disebabkan kemampuan yang Allah berikan kepada mereka cukup kuat untuk menghafalkan dan memahami apa-apa yang me