Al-Qur’an sejak awal diwahyukan nya kepada Rasulullah Saw telah kita yakini ke absolut an nya dari segala sisi, baik Bahasa, sastra, hukum, aqidah dll. Namun ke absolut an tersebut tidak dianggap benar bagi sebagian kalangan, lihat saja beberapa kalangan yang melihat dari segi Bahasa dan lahjah nya nampak menaruh keraguan terhadap-Nya, Jika enggan berkata orang-orang yang demikian tidaklah memiliki keilmuan dan wawasan yang mendalam, karena keilmuan yang mendalam dan wawasan yang luas pada diri seseorang akan melahirkan sikap yang bijak dan kritis.
Beranjak dari sana jauh sebelum muncul nya para kritikus dari kalangan orientalis, para ulama terdahulu juga sudah melakukan berbagai ragam penilitian terhadap uslub dan gramatika al-Qur’an untuk meneliti lebih lanjut hal tersebut. Dari segi gramatika Bahasa arab sendiri terdapat dua madzhab besar dalam ilmu gramatika arab (nahwu) yaitu madzhab basrah dan kufah, dari madzhab kufah sendiri cukup masyhur nama imam ali al-kisai sebagai pembesar nya, bahkan madzhab kufah yang awalnya tidak begitu dianggap (mu'tamad) untuk dijadikan sebagai sandaran dalam nahwu sejak kemunculan imam ali al-Kisai madzhab kufah pun menjadi masyhur dan dan dapat dijadikan sebagai sandaran dalam ilmu nahwu. Maka dari itu tak heran jika sastrawan terkenal sekelas duktur Syauiqi dhaif mengatakan bahwa orang yang pertama kali melakukan kritik terhadap qiraah bacaan al-Qur’an adalah imam ali al-kisai, senada dengan hal tersebut imam ibnu al-Farra’ dalam beberapa Riwayat juga banyak mengkritik para imam-imam qiraat dengan bacaan-bacaan nya. Namun beda hal nya dengan imam sibawaih dari madzhab basrah yang justru tidak ditemukan adanya Riwayat yang mengatakan bahwa beliau mengkritik bacaan qiraah al-Qur’an.
Perlu kita ketahui bersama bahwa kritik yang dilontarkan oleh para ulama lughah dan para ahli qiraah tentu berbeda dengan kritik yang dilontarkan oleh para orientalis, kritik para orientalis bertujuan untuk menghina, menjatuhkan dan mencari-cari celah untuk merusak islam dari dalam dengan memunculkan berbagai macam kritik negative yang pada hakikat nya mereka sedang menampakkan wajah kebodohan nya, beda hal kritik yang dilontarkan para ulama seperti imam ali al-Kisai, ibnu al-Farra’ dan lain nya mereka mengkritik dengan tujuan penilitian dan peninjauan yang pada akhirnya melahirkan wawasan-wawasan baru dalam ilmu gramatika bahasa arab karena kemunculan qiraah al-Qur’an itu sendiri sudah jauh lebih dulu dibanding ilmu gramatika Bahasa arab itu sendiri, sehingga jika ditemukan adanya hal-hal yang menyelisihi kaidah ilmu nahwu dalam qiraah al-Qur’an maka tentu akan melahirkan kaidah-kaidah baru dalam ilmu nahwu.
Dari sini kemudian timbul pertanyaan dibenak penulis, hal apa yang mendasari mereka para ulama lughah melontarkan kritik terhadap qiraah bacaan al-Qur’an? Jawaban dari pertnyaan tersebut penulis temukan dari kitab an-Naqdu an-nahwi li al-Qiraat al-Arba’ata al-‘Asyarah disana penulis menemukan bahwa tiga kaidah yang ditetapkan oleh khalifah Utsman bin Affan (pertama kesesuaian dengan wajah nahwu, kedua kesesuaian dengan kaidah penulisan yang telah dinukilkan sejak zaman Rasulullah, dan ketiga derajat isnad yang shahih), pada syarat yang pertama terdapat perbedaan pandangan dari kalangan para ulama qiraah dan ulama nahwu, para ulama ahli qiraah tidak mensyaratkan syarat yang pertama baik dari segi qiyas lughawi ataupun dari segi kefasihan nya, maka dari itu cukup banyak kita temukan ulama-ulama lughah yang juga ahli dibidang qiraah mereka tidak terlalu begitu bersandar pada syarat pertama ini dari segi kaidah lughawi (secara dirayah), akan tetapi mereka lebih condong kepada apa yang telah dinuqilkan kepada mereka secara riwayat (riwayah) dan mereka lebih mensyaratkan syarat yang ketiga (derajat isnad yang shahih) dari yang pertama (kesesuaian dengan wajah nahwu), maka dari itu tak heran jika ada diantara mereka yang membolehkan membaca qiraah yg syadz dalam shalat dengan syarat terpenuhinya syarat yang ketiga yaitu isnad yang mutawatir. Maka dari itu pula mereka cenderung melontarkan kritik terhadap syarat yang ketiga itu jika ditemukan adanya perbedaan dalam periwayatan.
Lain hal nya dengan para ulama lughah, mereka lebih bersandar kepada syarat yang pertama baik dari segi qiyas lughawi nya ataupun kefashihan nya, dan jika ditemukan adanya perbedaan maka akan dita’wil makna nya sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang telah ditetapkan, hal itu dikarenakan al-Qur’an tidak mungkin dapat dipahami dengan baik jika menyalahi kaidah-kaidah kefashihan para fushaha’ al-Arab. Maka dari itu mereka cenderung melontarkan kritik terhadap syarat yang pertama jika menemukan hal-hal yang berbeda dari segi lughah nya.
Kesimpulan yang bisa kita petik adalah bahwa disini terdapat dua permasalahan yang kemudian bisa menjadi titik terang.
Pertama kelompok yang tidak memisahkan antara qiraah dan al-Qur’an itu sendiri sebagaimana yang dilontarkan oleh imam ibn al-Jazari, mereka berpandangan bahwa qiraah yang dibacakan dan diriwayatkan (secara mutawatir) oleh para aimmah qiraah adalah termasuk ragam bacaan al-Qur’an dalam artian qiraah adalah al-Qur’an itu sendiri.
Kedua kelompok yang memisahkan antara qiraah dan al-Qur’an sebagaimana yang dilontarkan oleh imam Abu Amr ad-Dani, mereka memisahkan berdasarkan tiga syarat yang ditetapkan oleh khalifah Ustman bin affan. Jika tiga syarat tersebut terpenuhi maka dapat disebut sebagai al-Qur’an karena sifat kequr’anan nya bergantung pada tiga syarat tersebut, namun jika menyelisihi kaidah tersebut maka tidak dapat dikatakan sebagai al-Qur’an, melainkan hanya sebagai kalam/qiraah yang memiliki tema bahasan, kalam maudu’.
Wallahu ‘Alam
Mohammed Mi’raj
Darrasah, 6 Feb 2022
Referensi: Abdul Razzaq Ali Husain Muhammad, an-Naqdu an-Nahwi li al-Qiraaat al-Arba'a al-Asyarah, Oman: dar an-Nuur al-Mubin, cet: pertama, 2020.
Komentar
Posting Komentar