Hukum membaca al-Qur'an tanpa tajwid, Boleh. Betulkah?

Bismillah...

Beberapa hari yang lalu dalam sebuah perjalanan, penulis melihat seseorang yang nampak sedang membaca al-Qur’an dalam perjalanan nya, terucap dalam hati penulis “segala puji bagi Allah yang telah memberikan sebuah pandangan motivasi bahwa al-Qur’an tidak lah hanya dibaca dalam keadaan tertentu saja, akan tetapi dapat dibaca dimanapun dan kapanpun”, lalu seiring waktu berlalu, terdengar bacaan nya nampak sesuatu yang sedikit meragukan hati penulis, beberapa bacaan nya tidak begitu memperhatikan kaidah ilmu tajwid atau dalam arti tidak memenuhi kriteria bacaan yang baik dan benar, dari situ teringat langsung sebuah bait dari matan Ilmu tajwid karangan imam ibnu jazari yang kurang lebih terjemahan nya berisi “bahwa membaca al-Qur’an dengan tajwid adalah sebuah kewajiban (hatmun lazim) dan barang siapa yang meninggalkannya adalah sebuah dosa”. Dari sini akhir nya muncul lah keinginan yang sangat dalam untuk mencari referensi rujukan yang membahas tentang hal ini, apakah kewajiban membaca al-Qur’an dengan ilmu tajwid adalah sebuah keharusan atau hanya sebuah penghias bacaan saja? Berikut ulasan nya.

Ketika penyebaran agama islam baru tersebar pada kalangan arab saja tidak ada kesalahan pada bacaan al-Qur’an dari segi pelafalan nya, namun ketika penyebaran agama islam sudah masuk pada ummat non arab maka bermulalah pencampuran bahasa dari segi pelafalan. Maka dar sinilah para ulama menetapkan sebuah kaidah yang dapat dipelajari dan memudahkan masyarakat islam non arab saat itu untuk belajar dalam pelafalan lafadz-lafadz al-Qur’an yang disebut dengan ilmu tajwid.

Bahasa pada hakikatnya lahir dari suara yang dihasilkan oleh alat -pita suara- yang ada pada diri manusia, pada perealisasian nya suara bahasa tersebut lahir karena adanya pergerakan alat- alat tersebut yaitu paru-paru sebagai pemompa udara untuk menggetarkan pita suara lalu kemudian pita suara tersebut bergetar memotong aliran udara agar membentuk suara dan kemudian keluar melalui artikulator (lidah, langit langit mulut, pipi, bibir dll). Namun para ahli bahasa dan ahli tajwid memberi pandangan bahwa suara yang dihasilkan tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, sesuatu yang tersusun dari nya suara atau yang keluar dari nya suara maka itulah yang dinamakan dengan makharij yaitu tempat keluar nya suara. Kedua, tata cara pengucapan suara tersebut dari tempat keluar nya, itulah yang dinamakan dengan shifat yaitu sifat dari suara yang dikeluarkan. Dalam praktik nya setiap suara memiliki ragam sifat suara yang berbeda-beda, beberapa diantara nya berhubungan dengan pernafasan dalam pengucapan nya. Hal-hal tersebutlah yang masuk dalam kajian kajian ilmu tajwid.  

Kata tajwid dalam bahasa arab berasal dari kata jawwada-yujawwidu yang berarti membaguskan atau mengindahkan baik itu secara tingkah laku ataupun dalam berucap. Adapun dalam pelafalan tajwid adalah membaguskan atau mengidahkan bacaan. Imam ibnu jazari berpendapat bahwa tajwid adalah memberikan hak hak urutan dan tingkatan yang benar kepada setiap huruf dan mengembalikan setiap huruf pada tempat keluarnya dan asal nya dan menyesuikan huruf huruf tersebut pada setiap keadaan nya , dan membenarkan lafadz nya dan memperindah pelafalan nya pada setiap konteks, menyempurnakan bentuknya tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan.

Secara teori hukum mengetahui kaidah ilmu tajwid adalah fardhu kifayah, semisal orang yang bacaan nya sudah cukup baik namun tidak mengetahui kaidah hukum tajwid maka tidak ada pembebanan baginya untuk mengtahuinya secara teori, akan tetapi membaca nya dengan baik dan benar adalah wajib baik ia mengetahui teori kaidah tajwid ataupun tidak. Akan tetapi hukum implementasi tajwid terhadap bacaan al-Qur’an beberapa ulama berbeda pendapat, ulama jumhur mengatakan bahwa implementasi tajwid terhadap bacaan al-Qur’an adalah wajib, sebagian lain mengatakan tidak lah wajib jika tidak mengubah makna dan lafadz al-Qur’an, karena tujuan dari ilmu tajwid adalah mengindahkan dan membaguskan bacaan saja. 

Telah disepakati bahwa para jumhur ulama mengatakan implementasi tajwid adalah wajib, namun diantara mereka ada yang berbeda pendapat tentang kewajiban tersebut, ada yang menghukumi nya sebagai wajib syar’i atau sesuatu yang ketika dikerjakan mendapat pahala dan ketika ditinggalkan mendapat dosa, dan juga sebagai wajib Shina’i dalam pandangan ahlulqurra melaksanakan nya adalah sebuah kebaikan dan meninggalkan nya adalah sebuah keburukan. Penulis kitab as-Salsabil as-Syafi syeikh Ustman bin sulaiman murad berpendapat bahwa wajib syar’i dikalangan para ahlulqurra terbagi menjadi dua makna, yang pertama adalah wajib menjaganya dari kesalahan jali’ (fatal) seperti mengubah huruf dan makna nya maka hal ini dihukumi haram, adapun kesalahan kesalahan khafi (ringan) kesalahan dalam membaca lafadz seperti ikhfa, iqlab, qalqalah dll maka ini dihukumi makruh atau masuk dalam kategori wajib shina’i. Kedua adalah apa apa yang telah menjadi kesepakatan ahlulqurra dalam membaca nya seperti pada huruf lam nahi ataupun nafi yang dihukumi panjang dan lam taukid yang dihukumi tidak dipanjangkan karena akan mengubah makna nya.

Maka dari itu penulis menyimpulkan bahwa para ulama dahulu (mutaqaddimin) mereka berpendapat wajib secara syariat mengimplementasi ilmu tajwid dalam membaca al-Qur’an sebagaimana yang telah diajarkan para masyayikh dalam kaidah ilmu tajwid baik secara lafadz huruf, panjang pedek, idzhar, ikhfa, iqlab dll. Dan mereka juga berpendapat bahwa tidak ada pembagian hukum wajib shina’i pada hukum wajib tersebut baik secara pelafalan nya maupun secara hukum bacaan nya yang kesemua nya dihukumi wajib secara syariat.

Adapun para ulama kontemporer (mutaakhirin) mereka berpendapat akan wajib syar’i terhadap tajwid hanya sebatas pada melafadzkan huruf-huruf al-Qur’an dan memberikan hak-hak nya baik dari makhraj (tempat keluar nya huruf) maupun sifat huruf nya saja, adapun pada hukum bacaan seperti mad, gunnah, dll tidaklah termasuk wajib syar’i melainkan wajib shina’i selama tidak merubah makna dan redaksi ayat atau dengan kata lain tidak mendapat dosa bagi yang meninggalkan nya, akan tetapi tidak dapat dikatakan sebagai bacaan yang sempurna.

Wallahu ‘Alam

Kairo.

Senin, 09 November 2020

Referensi:

- Ibnu al-Jazary, an-Nasyr al-Qiraat al-‘Asyarah, beirut: Dar al-Ghautsani li ad-Dirasati al-Quraniyyah, 2018.

- Ghanim Qadduri al-Hamad, syarah al-Muqaddimah al-Jazariyyah, beirut: Dar al-Ghautsani li ad-Dirasati al-Quraniyyah, cet: kedua, 2017.

- Ghanim Qadduri al-Hamad, abhats fi ‘ilm at-Tajwid, Oman: Dar ‘Imar, 2001.

- Muhammad Khalil al-Hushari, ahkam qiraah al-Qur’an al-Karim, Mekkah: al-Maktabah al-Makkiyyah, 1995.

Muhammad ad-Dasuuki Amiin Kahilah, an-Nukatu al-Ihsan fi dhabti wa tajwidi al-Qur’an, Kairo: Dar as-Salam, 2018.

 

 

 

 

        

Komentar

Posting Komentar