Implementasi teori imam qiraat dalam membaca al-Qur'an




Bismillah

Para imam qiraat terdahulu telah banyak melakukan berbagai observasi penelitian terhadap orientasi al-Qur’an dari berbagai sudut pandang. Ada yang meng observasi dari segi perbedaan qiraah nya, penafsiran nya, istimbat hukum nya, dan juga dari segi periwayatan nya atau lebih dikenal dengan istilah ittishalussanad. Hal ini tentu didasari dengan amanat keilmuan yang perlu disampaikan mengenai isi yang terkandung dalam redaksi suatu ayat, kata, huruf yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah Saw yang tertuang dalam kitabullah al-Qur’an agar dapat menjadi objek kajian dimasa yang akan datang sehingga menjadikan suatu ummat kedepan nya tidak jahil akan agama yang dianut nya.

Dari rentetan observasi inilah para ulama ulama al-Qur’an memberikan rangakaian pandangan yang disajikan dalam bentuk sajian sajian teori dari berbagai aspek bahasan. Namun pada kali ini, penulis akan sedikit membahas dari aspek implementasi teori para imam qiraah dalam membaca al-Qur’an.

Teori pertama. Sering kita dengar baik secara langsung ataupun melalui media rekaman, video dari para imam imam masjid ternama, Qur’an reciter, ataupun dari para pengajar Qur’an itu sendiri yang membaca al-Qur’an dengan cepat. Ini lebih dikenal dikalangan ulama qiraah dengan istilah membaca al-Qur’an bil al-Hadar atau dengan mempercepat bacaan dan meringankan beberapa hukum bacaan al-Qur’an (red:tajwid) seperti mengurangi durasi mad jaiz munfasil menjadi dua harakat, mengganti harakat, meringankan bacaan idgham  dan lain lain yang tentunya semuanya berkonvensi pada periwayatan yang mutawatir dan juga shahih. Bacaan bacaan seperti ini adalah madzhab dari imam imam qiraah seperti imam ibnu katsir, imam Abu Ja’far, imam Abu Amr dan juga imam Ya’qub. Adapun yang membaca cepat tanpa dilandasi dengan pedoman teori yang telah disepakati ataupun menyalahi kaidah hukum bacaan maka itu tidak diperbolehkan.  

Teori kedua. Mahmoud khalil al-Hussary, syeikhulqurra, ulama al-Qur’an kenamaan mesir. Beliau terkenal dengan suara yang khas dengan tempo bacaan yang lambat dan pelan, menyempurnakan hukum kaidah bacaan seperti mad, waqaf dan ibtida’, menyempurnakan dan menjelaskan huruf huruf nya serta sesuai dengan tempat keluar nya huruf (makhraj). Membaca dengan cara ini mengikuti madzhab bacaan qiraah imam warsy dan juga imam hamzah. Bacaan seperti ini lebih dikenal dikalangan ulama qiraah dengan istilah membaca al-Qur’an bil at-Tahqiq. Hal ini untuk melatih lidah dalam menyempurnakan kaidah hukum bacaan nya agar terdengar lebih fasih dalam membaca, Hal serupa pernah juga pernah dilakukan oleh ubay bin ka’ab bahwa beliau membaca al-Qur’an dihadapan Rasulullah Saw dengan bacaan seperti ini.

Teori ketiga. Merupakan cara membaca yang paling banyak diterapkan oleh para imam qiraah. karena dalam teori ini tempo bacaan tidak begitu cepat ataupun lambat dan pelan ataupun juga tidak meringankan kaidah hukum bacaan seperti mad yang tadi nya bisa dibaca dua harakat namun pada teori ketiga ini dibaca dengan empat harakat dan juga tidak memberatkan sampai sempurna enam harakat, dan juga berlaku pada kaidah kaidah yang lain. Dikalangan para ahli qiraah bacaan seperti ini lebih dikenal dengan istilah bil at-Tadwir. Dan diantara para imam qiraah yang membaca dengan cara seperti ini adalah imam ibnu amir, imam ashim, imam ad-Duri, dan juga imam imam yang lain.

Dari beberapa implementasi teori para imam qiraat diatas adalah membaca al-Qur’an dengan memenuhi kaidah bacaan yang baik dan benar sehingga bisa dijadikan sebagai tolak ukur bacaan. Maka dari itu para ulama ahli qiraah telah menyusun berbagai kitab kitab sebagai pedoman bacaan yang baik dan benar. Dari sini juga kenikmatan membaca al-Qur’an dapat kita rasakan sehingga tujuan dari perintah membaca al-Qur’an sebanyak banyak nya agar mempermudah seseorang dalam menghafal dan mengkaji isi kandungan al-Qur’an dapat terwujud. Dengan demikian bacaan seseorang akan sampai kepada derajat membaca dengan tartil. Karena bacaan dengan tartil telah mencangkup juga didalam nya memahami dan mentadabburi ayat, dan ini lebih diutamakan oleh sebagian besar ulama dibanding memperbanyak kuantitas bacaan itu sendiri dengan dalil bahwa tujuan dari membaca adalah untuk memahami isi bacaan, dan adapun sebagian ulama yang lain yang mengatakan memperbanyak kuantitas bacaan lebih diutamakan dengan dalil bahwa setiap huruf dalam al-Qur’an mengandung kebaikan yang berlipat ganda. Dan adapun beberapa teori diatas adalah sebagai proses tahapan  pembelajaran cara membaca al-Qur’an hingga bisa mencapai derajat bacaan tartil. Dan membaca dengan tartil lebih ditujukan untuk proses pengkajian dan pentadabburan ayat. Dari kedua nya masing-masing memiliki keutamaan yang baik entah dari kuantitas bacaan ataupun kualitas -tadabbur- bacaan. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa bacaan tartil pasti menggunakan salah satu dari teori bacaan diatas, akan tetapi tidak semua teori bacaan diatas bisa digolongkan kedalam bacaan tartil. karena tartil membutuhkan pemikiran dan pendabburan ayat.

Allahu a’alam

Kairo

Ahad, 3 Mei 2020
.
.
.
Referensi;
-       Imam Jaluluddin as-Suyuthi, Al-itqan fi ‘ulumi al-Quran, Cairo: Dar al-Hadist, 2006.

-   Ibnu al-Jazary, an-Nasyr al-Qiraat al-‘Asyarah, beirut: Dar al-Ghautsani li ad-Dirasati al-Quraniyyah, 2018.



Komentar