Bismillah...
Bahasa arab merupakan bahasa dengan keragaman dialek
dan lahjah yang berbeda dari setiap suku nya, layak nya indonesia keragaman
tersebut dipengaruhi oleh beberapa aspek kehidupan seperti lingkungan, budaya,
sosial dll. Maka bahasa arab pun demikian dimana Al-Qur’an diturunkan dalam berbahasa
arab yang bahasa arab itu sendiri memiliki ragam dialek dan lahjah, dengan
sebab itulah maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan bebagai lahjah dan dialek
yang berbeda untuk mempermudah suku suku arab pada masa itu dalam membaca dan
mengkaji Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an pun ketika dikaji saat itu para ulama
juga berbeda pendapat dalam memaknai ayat atau pun kalimat tertentu sebab perbedaan
bacaan tadi.
Pada tulisan yang lalu (baca: hikmah dibalik ragam perbedaanbacaan Al-Qur’an) penulis telah memaparkan beberapa hikmah secara umum,
pada tulisan kali ini penulis ingin memaparkan beberapa hikmah secara khusus
dan spesifik dari berbagai sisi pengisbatan hukum.
Sisi Fiqh ibadah
Pertama, Hukum mendatangi istri dalam
keadaan haid
Contoh pada surah Al-Baqarah ayat 222
فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ
وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ
فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ
”...oleh
sebab itu jauhilah istri pada waktu haid dan jaganlah kamu dekati mereka sebelum
mereka suci, apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan
ketentuan yang di perintahkan Allah kepadamu.”
kalimat يَطْهُرۡنَ (takhfif)
artinya : Bersuci, bisa
dibaca يَطَّهَّرْن (tasydid).
Pada qiraah yang membaca يَطۡهُرۡنَ takhfif bermakna
bahwa “janganlah mendekati istri pada waktu haid sampai berhentinya darah haid
dan bersih.
Namun pada qiraah yang
membaca يَطَّهَّرْن (tasydid) bermakna “janganlah
mendekati istri pada waktu haid sampai berhentinya darah haid dan mandi besar.
Kedua qiraah ini benar, Lalu
kemudian para ulama menggabungkan kedua hukum ini dengan pemahaman bahwa
seorang suami tidak boleh mendekati (menjima’) istrinya sampai berhentinya
darah haid dan bersih lalu kemudian mensucikan dirinya dengan mandi besar.
Kedua, Hukum
bersentuhan dengan perempuan
Contoh pada surah An-Nisa’
ayat 43
وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ
سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا
“...dan jika kamu sakit atau sedang dalam
keadaan musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci)..”
Kalimat لَٰمَسۡتُمُ (huruf
lam beralif dipanjangkan 2 harakat) artinya : Menyentuh, bisa
dibaca لَمَسۡتُمُ (huruf lam tidak beralif dan tidak
dipanjangkan).
Pada qiraah yang
memanjangkan huruf “lam” menyentuh nya bermakna jima’
Namun pada qiraah yang tidak
memanjangkan huruf “lam” menyentuhnya tidak bermakna jima’.
Kedua qiraah ini benar,
para ulama dari kalangan maliki, syafii, hambali, memaknai pada kalimat
tersebut adalah menyentuh dengan tangan dalam artian bukan Jima’, dan menyentuh
nya disini membatalkan wudhu jika disertai dengan syahwat menurut imam malik
dan imam hambali adapun menurut imam syafii wudhu nya batal baik menyentuh nya
disertai syahwat aupun tidak.
Berbeda dengan imam Abu Hanifah
atau madzhab Hanafi, beliau memaknai kalimat menyentuh dengan makna jima’,
karena jika kata “menyentuh” dihubungkan dengan wanita maka makna yang
dikandungnya berubah menjadi kalimat majaz atau yang dimaksudkan adalah jima’,
dan wajib bagi nya untuk mandi besar.
Ketiga, Hukum
membasuh atau mengusap kaki ketika berwudhu
Contoh pada surah Al-Maidah
ayat 6
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ
وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
“Hai orang-orang yang beriman,apabila kamu
hndak menegrjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tangangnmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai kedua mata kaki...”
Kalimat أَرۡجُلَكُمۡ (huruf lam difathahkan) artinya : kaki kaki kalian, bisa juga dibaca أَرۡجُلِكُمۡ (huruflam dikasrahkan).
Pada qiraah yang membaca fathah
bermakna wajib nya membasuh kaki ketika berwudhu.
Namun pada qiraah yang
membaca kasrah bermakna wajib nya mengusap kaki dalam arti tidak membasuh nya ketika
berwudhu.
Kedua qiraah ini benar,
para ulama yang membaca fathah atau memaknai “membasuh” berarti menyamakan
hukum basuh nya kedua kaki dengan wajah dan tangan sampai kesiku, adapun yang
membaca kasrah atau memaknai nya dengan “mengugsap” berarti menyamakan
hukum usapan nya dengan mengusap kepala, dan ini adalah ketetapan para ulama
pada bab mengusap sepatu atau “khuf”.
Pembahasan yang lebih khusus
dan terperinci selajutnya akan penulis paparkan pada tulisan mendatang.
Wallahu ‘alam
.
.
.
Referensi :
- Kitab : Hujjatu
Al-Qiraat, Penulis : Imam Al-jalil abi zar’ah abdurrahman bin muhammad bin
zanjalah, Penerbit : Muassasah Ar-Risalah, Damascus-Syria 2014
- Kitab : Tafsir Ath-Thabari,
Penulis : Imam Abu Ja’far Muhammad bin
jarir Ath-Thabari, Penerbit : Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1994
- Kitab : Al-Qiraat
Al-Quraniyyah, Penulis : Duktur Khairuddin Saib, Penerbit : Dar Ibnu Hazm,
Beirut 2008
Cairo, 14 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar