Apa itu Qiraah Syadz ?



Bismillah...

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Quran dalam dalam tujuh huruf, (baca : makna harf sab’ah di sini), dimana dengan ragam huruf itulah yang dikenal dengan qiraah asyarah yang telah disepakati oleh para ulama ke shahihan dan kemutawatiran nya, namun sebelum penetapan keshahihan qiraah asyarah itu pada masa khalifah usman bin affan, qiraah alquran sangat banyak ragam nya sehingga tak jarang diantara mereka saling membenarkan qiraah mereka satu sama lain dan juga saling menguatkan bahwa bacaan yang mereka baca bersumber langsung dari Rasulullah saw, dengan sebab kekhawatiran sahabat huzaifah akan terjadinya perpecahan ummat maka ditetapkan lah qiraah yang shahih yang tidak diragukan lagi kemutawatiran nya dengan ditentukan nya beberapa syarat yang harus terpenuhi. (baca:keotentikanalquran dari segi qiraat nya)

Imam Al-jazari dalam kitab nya mandzumah thayyibatunnasyr fi qiraatil asyar memaparkan tiga syarat qiraah yang dapat dikatakan sebagai bacaaan Al-Qur’an yang shahih atau dikenal dengan Arkan Al-Qiraah (rukun rukun qiraah), syarat yang pertama adalah tidak menyalahi kaidah bahasa arab, yang kedua tidak menyalahi kaidah penulisan Rasm Usmani (tata cara penulisan Al-Qur’an kalimat dan huruf nya yang telah ditetapkan pada masa khalifah Usman bin Affan ), dan yang ketiga adalah keshahihan sanad bacaan tersebut yang bersumber langsung dari Rasulullah dengan jalur periwayatan yang mutawatir. Dari ketiga syarat atau rukun qiraah bacaan inilah bisa disebut sebagai qiraah bacaan Al-qur’an, dan adapun qiraah yang tidak memenuhi kriteria syarat atau rukun diatas maka digolongkan kedalam qiraah syadz.

Secara bahasa, qiraah syadz merupakan masdar dari kalimat شَذَّ – يَشُذُّ – شَذًّ – و شُذُوْذًا   bermakna menyimpang atau terpisah dari kalangan jumhur.

Sedangkan menurut istilah, ulama berbeda pendapat dalam pengertian nya diantara nya Imam Abu Hasan As-Sakhawiy mengatakan qiraah syadz adalah qiraah yang sanad nya tidak mencapai derajat mutawatir kepada rasulullah, ada juga yang mengatakan bahwa qiraah syadz adalah qiraah yang keluar dari kesepakatan para ulama karena tidak memenuhi syarat atau rukun qiraah bacaan alquran.

Qiraah Syadz sendiri sudah ada pada masa kenabian dimana keragaman suku suku arab pada masa itu mereka membaca Al-Qur’an menyesuaikan lahjah atau dialek mereka, keragaman ini kemudian baru muncul ketika zaman khalifah usman bin affan dimana keragaman bacaan ini sangat banyak dan juga menyulitkan ummat pada masa itu untuk menentukan bacaan Al-Qur’an, maka khalifah pun memiliki dua pilihan, pertama memusnahkan sebagian qiraah dan ini menjadi kekhawatiran khalifah pada masa itu karena takut memusnahkan qiraah yang merupakan bagian dari Al-Quran, disisi lain juga khalifah takut akan perpecahan ummat terjadi karena perbedaan ragam qiraah ini yang belum ada ketetapan nya, sehingga khalifah pun melakukan ijma dengan para ahlulqurra dari kalangan sahabat dan menetapkan beberapa syarat atau rukun qiraah dan memusnahkan qiraah selain nya yang tidak memenuhi syarat dan rukun qiraah yang telah ditetapkan.

namun dalam penerapan qiraah syadz ini para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan qiraah syadz sebagai hujjah, ada yang mengatakan boleh dengan alasan karena dulu para sahabat dan tabiin juga membaca qiraah syadz dalam shalat dan diluar shalat mereka, dan jika bacaan qiraah ini haram hukum membaca nya maka mereka pasti menetapkan qiraah tersebut menjadi haram. Pendapat lain juga berasal dari salah satu pengikut imam Abu Hanifah dan pengikut imam Syafi’i dan salah satu riwayat dari imam Malik dan imam Ahmad membolehkan qiraah syadz dijadikan sebagai hujjah landasan hukum hukum syariat dengan syarat qiraah syadz harus memenuhi syarat mutawatir tanpa harus terpenuhi syarat rasm utsmani nya dengan alasan bahwa qiraah syadz sama seperti hadist ahad dalam pengamalan nya dengan tidak mengatakan bahwa qiraah tersebut bagian dari Al-Qur’an akan tetapi menjadikan nya sebagai khabar atau ma’lumat yang dinukilkan kepada Rasulullah saw, namun ada juga yang mengatakan bahwa qiraah syadz tidak boleh dijadikan sebagia istimbat hukum syar’i diantara nya riwayat lain dari imam malik dan beberapa pengikut dari imam syafii yang lain, dan ada juga yang memberikan syarat jika hukum yang disampaikan menetapkan hukum yang baru maka tidak bisa dijadikan hujjah, adapun jika hukum yang disampaikan merupakan penjelasan dari hukum tersebut dan derajat qiraah nya sampai pada derajat mutawatir maka diperbolehkan contoh pada qiraah Abdullah Ibnu Mas’ud pada surah Al-Maidah ayat 38

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ

“adapun laki laki yang mencuri dan perempuan yang mnecuri maka potonglah tangan kedua nya sebagai balasan atas perbuatan yang meeka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.....”

Pada ayat ini qiraah Abdullah Ibnu Mas’ud membaca kalimat أَيۡدِيَهُمَا artinya : tangan dari keduanya. dengan mengganti dengan kalimat أَيْمَانُهُمَا artinya : tangan kanan dari keduanya.

Pada ayat ini juga tidak dijelaskan tangan yang mana yang dipotong apakah kiri atau kanan, lalu kemudian para ulama mengambil istimbat penjelasan hukum nya dari qiraah syadz yang diriwayatkan oleh ibnu masud ini. Hukuman ini dilaksanakan dengan syarat dan ketentuan.

Contoh lain pada hukum denda bagi orang yang melanggar sumpah pada surah almaidah ayat 89

فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ

“.... maka kaffaratnya, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari pertengahan yang kamu berikan kepada keluarga kamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak mendapatkan maka puasa selama tiga hari. Itulah kaffarat sumpah sumpah kamu bila kamu bersumpah.

Ayat diatas membahas tentang kaffarat atau denda bagi orang yang melanggar sumpah, salah satu diantara kaffarat nya adalah berpuasa selama tiga hari. Perbedaan qiraat ada pada kalimat  فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ  artinya : puasa tiga hari. pada qiraah Abdullah Ibnu Mas’ud dibaca dengan menambahkan فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖ مٌتَتاَبِعَيْن  artinya : puasa tiga hari secara berturut turut.

Puasa tiga hari yang dimaksud ayat diatas adalah menurut pndangan imam syafii dan imam malik tidak perlu berturut turut karena tidak ada ketentuan yang menyangkut perurutan nya. Sedangkan imam abu hanifah dan imam ahmad ibn hambal puasa yang dimaksud adalah puasa yag berturut turut berdasarkan riwayat bacaan dari qiraah Abdullah Ibnu Mas’ud dari qiraah syadz ini.

Maka dari itu ada juga diantara para ulama yang menolak untuk menggunakan qiraah syadz sebagai istimbat hukum diantara nya imam malik dan beberapa pengikut dari imam syafii yang lain.

Qiraah syadz adalah qiraah yang hilang  darinya beberpa unsur penting dari syarat rukun qiraah yang shahih, akan tetapi hal ini tidak menjadikan qiraah ini jauh dari kata manfaat bagi qiraah yang shahih atau mutawatir karena qiraah syadz juga merupakan cabang dari ilmu bahasa arab dan ilmu ilmu syariah. Maka peran penting dari qiraah ini terhadap karangan kitab kitab quraniyyah, seperti tafsir dll sangat besar karena juga menjelaskan dan memaparkan beberapa pendapat.     

Wallahu ‘alam
.
.
.

Referensi :

- Kitab : Tafsir Ath-Thabari, Penulis : Imam Abu Ja’far  Muhammad bin jarir Ath-Thabari, Penerbit : Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1994

- Kitab : Al-Qiraat Al-Quraniyyah, Penulis : Duktur Khairuddin Saib, Penerbit : Dar Ibnu Hazm, Beirut 2008

- Kitab : Nasyr Al-Qiraat Al-Asyarah, penulis : Imam Al-Qurra’ Ibnu Al-Jazari, tahqiq fadhilatu As-Syeikh Aiman rusydi suwaid, Penerbit : Dar Al-Ghautsani li Ad-dirasati Al-Qur’aniyyah. Nibrus 2018

- Kitab : Al-Qiraat As-Syaddzah, Penulis Duktur Hamdi Sultan bin Hasan Ahmad Al-‘Adawi, Penerbit : Dar As-Shabah. Thanta 2006



Cairo, 24 Maret 2020

 

Komentar